Kalau kita bicara Ushul Fikih, jangan bayangkan ia tiba-tiba nongol dari langit, lengkap dengan daftar isi dan bab-babnya. Tidak. Ia adalah hasil pergulatan panjang, respons atas pertanyaan-pertanyaan mendasar yang terus muncul: "Ini hukumnya apa?", "Kok bisa begitu?", atau "Dasarnya dari mana?". Singkatnya, Ushul Fikih itu adalah ilmu tentang "bagaimana caranya sampai pada kesimpulan hukum". Dan sejarahnya, sungguh, jauh lebih menarik dari sekadar deretan nama dan kitab.
Bayangkan di zaman Nabi Muhammad. Apakah ada kebutuhan mendesak untuk merumuskan kaidah Ushul Fikih? Tentu saja tidak. Sumber hukum itu hidup, bernapas, dan berjalan di tengah-tengah mereka: Al-Qur'an turun langsung, dan Nabi sendiri yang menjadi penjelas, penafsir, sekaligus praktisi utamanya. Mau tanya apa, tinggal datang ke Nabi. Mau tahu maksud ayat ini, Nabi langsung terangkan. Mau tahu bagaimana salat, Nabi langsung tunjukkan.
Namun, bukan berarti "metodologi" itu absen. Justru ia ada dalam praktik sehari-hari. Ketika Nabi mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, percakapan legendaris itu terjadi:
«كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟» قَالَ: أَقْضِي بِكِتَاب اللَّهِ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ في كِتَابِ اللَّهِ؟»، قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ في سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ولَا في كِتَابِ اللَّهِ؟»، قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأيِي
Bagaimana engkau memutuskan perkara, wahai Mu'adz?" "Dengan Kitabullah." "Jika tidak ada?" "Dengan Sunnah Rasulullah." "Jika tidak ada?" "Aku akan berijtihad dengan akalku, dan aku tidak akan berlebihan.
Ini bukan sekadar dialog ringan. Ini adalah kerangka awal, embrio pengakuan bahwa ada hierarki sumber, dan ada ruang bagi nalar ketika teks diam. Ini adalah "ushul" yang belum bernama, tapi sudah berjiwa.
Wafatnya Nabi adalah titik balik krusial. Wahyu terhenti. Tapi masalah? Justru berlipat ganda. Islam menyebar, berinteraksi dengan budaya baru, dan kompleksitas hidup meningkat. Para sahabat, yang tadinya bisa langsung bertanya, kini harus mencari jawaban sendiri. Di sinilah ijtihad menjadi keniscayaan.
Maka, mulailah era "kok bisa begini?" yang lebih intens. Para sahabat berdiskusi, berdebat, dan kadang berbeda pendapat. Dari sinilah lahir konsep "Ijma'" – konsensus para sahabat. Jika mereka sepakat, itu adalah hujjah. Mengapa? Karena mereka adalah generasi terbaik, paling dekat dengan Nabi, dan paling paham konteks wahyu.
Lalu, "Qiyas" pun mulai merangkak. Ketika tidak ada nash yang eksplisit untuk kasus baru, mereka mencari "illat" (sebab hukum) yang sama dengan kasus yang sudah ada nashnya. Ini bukan sekadar cocoklogi, tapi upaya serius mencari benang merah keadilan dan kemaslahatan syariat.
Namun, jangan salah, perbedaan metodologi sudah mulai terlihat. Di Hijaz, para sahabat cenderung lebih "tekstual", sangat berpegang pada dzawahir al-nushus.
Ambil contoh Abdullah bin Umar, salah satu figur sentral dalam tradisi ini. Karakteristik metodologinya begitu kuat hingga digambarkan:
فقد كان أبعد الناس عن الأخذ بالرأي إلا لحاجة ملحة
dia adalah orang yang paling enggan menggunakan pendapat pribadi, kecuali jika benar-benar ada kebutuhan yang mendesak dan tak terelakkan.
Atau dengan kata lain, ijtihad dengan akal itu adalah "jalan terakhir" bagi Abdullah bin Umar.
Sementara di Kufah, Irak, yang mungkin ketersediaan hadisnya tidak sebanyak di Madinah, atau masalah yang dihadapi lebih kompleks, mereka lebih "rasional", lebih berani menggunakan akal (ra'yi), istihsan, bahkan 'urf (adat kebiasaan). Pendekatan ini berakar kuat pada pemikiran Abdullah bin Mas'ud, seorang pemimpin berpengaruh yang banyak menyerap gagasan Umar bin Khattab.
Ini bukan sekadar beda geografis, tapi beda preferensi epistemologis. Dua madrasah besar, Ahlul Hadis dan Ahlur Ra'yi, mulai menancapkan benderanya masing-masing.
Pada era berikutnya, kedua madrasah besar ini dilanjutkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai Pembesar Ahli Ra'yi dan Imam Malik sebagai pemimpin Ahli Hadis.
Perbedaan antara dua kutub keilmuan ini cukup seru, penuh dinamika intelektual. Tapi ya, begitulah, penyakit lama umat ini: gampang banget tergoda pada fanatisme. Diskusi yang seharusnya ilmiah, mencari kebenaran dengan argumen, mendadak bergeser jadi ajang gontok-gontokan tak berfaedah. Tak lagi ilmiah, yang ada malah sibuk saling menjatuhkan, seolah-olah validitas ilmunya ditentukan oleh berapa banyak musuh yang bisa dikalahkan.
Dan di tengah riuhnya perbedaan metodologi itu, muncullah sosok Muhammad bin Idris alias Imam Syafi'i. Ia bukan sekadar ulama biasa. Ia adalah "anak ajaib" yang belajar langsung dari dua kutub yang berbeda: dari Imam Malik (representasi Ahlul Hadis) dan dari murid-murid Abu Hanifah (representasi Ahlur Ra'yi). Ia melihat langsung bagaimana kedua kubu ini bekerja, apa kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Pengalaman inilah yang membentuk pemikiran Imam Syafi'i. Ia sadar, perdebatan metodologi ini harus diakhiri, atau setidaknya, disistematisasi. Maka lahirlah "Ar-Risalah". Kitab ini bukan sekadar buku, tapi sebuah sebuah pondasi dasar yang mengubah cara umat Islam berpikir tentang hukum.
Lalu, mengapa gerangan kitab monumental ini dinamakan "Ar-Risalah"—sebuah "Surat" atau "Pesan"? Penamaan ini, sejatinya, bukan sebuah kebetulan, melainkan menyimpan historis dan filosofis yang mendalam. "Ar-Risalah" adalah respons Imam Syafi'i terhadap surat permintaan Abdurrahman al-Mahdi, seorang ulama Hadis terkemuka dari Hijaz yang gelisah. Permintaan itu, kita harus garis bawahi, bukanlah permintaan remeh temeh. Ia adalah desakan untuk menyusun sebuah pedoman bagaimana memahami dan menafsirkan makna-makna Al-Qur'an, Hadis, dan seluruh sumber hukum Islam lainnya secara benar.
Singkat cerita, Imam Syafi'i dengan "Ar-Risalah"-nya, berhasil menjembatani jurang antara "tekstualis" dan "rasionalis". Ia tidak menolak akal, tapi ia memenjarakannya dalam kaidah-kaidah yang ketat, agar ijtihad tetap berada dalam koridor syariat. Ia mengubah Ushul Fikih dari praktik menjadi disiplin ilmu yang terstruktur dan sistematis.
(Wandi Isdiyanto)