Di kota Makkah, sebelum datangnya Islam, ada seorang pemuda yang menjadi dambaan semua orang. Namanya Muṣ‘ab bin ‘Umair. Ia berasal dari keluarga Quraisy yang sangat kaya raya. Penampilannya selalu rapi, wajahnya tampan, tubuhnya harum karena pakaian mahal dan minyak wangi pilihan. Bila ia berjalan melewati suatu jalan, orang-orang bisa tahu dari wanginya bahwa Muṣ‘ab telah lewat.
Banyak pemuda Quraisy iri kepadanya, dan banyak gadis Makkah yang berharap bisa menjadi istrinya. Ia adalah gambaran pemuda ideal pada masa itu: tampan, kaya, terhormat, dan dicintai kaumnya.
Namun semua itu berubah ketika ia mendengar dakwah Muhammad saw. Hatinya tersentuh oleh lantunan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga ia beriman dan menyatakan masuk Islam secara sembunyi-sembunyi.
Keputusannya membuat keluarganya marah besar. Ibunya, yang sangat mencintainya, justru memutuskan segala fasilitas yang selama ini ia nikmati. Rumah mewah, pakaian indah, harta berlimpah semua dicabut darinya. Muṣ‘ab kehilangan segalanya, kecuali iman yang ia bawa dalam hatinya.
Sejak saat itu, sahabat-sahabatnya sering melihat Muṣ‘ab hadir di majelis Rasulullah saw dengan pakaian yang lusuh. Tidak ada lagi aroma minyak wangi mahal, tidak ada lagi kain sutra indah, hanya kesederhanaan seorang pemuda yang rela meninggalkan dunia demi Allah dan Rasul-Nya.
Padahal dahulu Muṣ‘ab hidup penuh kemewahan. Sa‘d bin Abī Waqqāṣ ra berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ مُصْعَبَ بْنَ عُمَيْرٍ وَإِنَّهُ لَمُجْتَهِدٌ فِي الْإِسْلَامِ جُهْدًا شَدِيدًا، حَتَّى رَأَيْتُ جِلْدَهُ يَتَحَشَّفُ تَحَشُّفَ جِلْدِ الْحَيَّةِ
“Sungguh aku pernah melihat Muṣ‘ab bin ‘Umair, ia menderita begitu keras dalam Islam hingga aku melihat kulitnya mengelupas sebagaimana kulit ular.”
Setelah itu ia hijrah ke Ḥabasyah, lalu kembali ke Makkah, kemudian hijrah ke Madinah setelah perjanjian ‘Aqabah pertama. Rasulullah saw mengutusnya sebagai duta pertama Islam untuk mengajarkan Al-Qur’an dan shalat kepada kaum Anṣār. Di tangannya, tokoh-tokoh besar seperti Usayd bin Ḥuḍayr dan Sa‘d bin Mu‘ādh masuk Islam.
Zuhud dan Kesederhanaannya
Suatu hari, Muṣ‘ab datang menemui Rasulullah saw di masjid. Pakaian yang ia kenakan penuh tambalan, tubuhnya tampak letih, wajahnya tidak lagi berseri seperti dahulu. Melihat itu, Rasulullah saw menunduk lalu meneteslah air mata beliau.
Beliau saw mengenang Muṣ‘ab yang dahulu hidup dalam kemewahan, lalu kini ia memilih jalan Allah walau penuh derita. Rasulullah saw menangis bukan karena kasihan, tetapi karena rasa haru: ada seorang pemuda yang rela menjual dunianya demi akhirat.
Rasulullah saw lalu berkata kepada para sahabat:
كَيْفَ بِكُمْ إِذَا غَدَا أَحَدُكُمْ فِي حُلَّةٍ وَرَاحَ فِي حُلَّةٍ، وَوُضِعَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ صَحْفَةٌ وَرُفِعَتْ أُخْرَى، وَسُتِّرْتُمْ بُيُوتَكُمْ كَمَا تُسْتَرُ الْكَعْبَةُ؟
“Bagaimana keadaan kalian nanti, apabila pagi hari kalian mengenakan pakaian baru, sore harinya pakaian lain, makanan melimpah di hadapan kalian, dan rumah-rumah kalian dihiasi seperti Ka‘bah dihiasi?”
Para sahabat menjawab dengan penuh semangat:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَحْنُ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مِنَّا الْيَوْمَ، نَتَفَرَّغُ لِلْعِبَادَةِ وَنُكْفَى الْمُؤْنَةَ
“Wahai Rasulullah, tentu saat itu kami lebih baik daripada hari ini. Sebab kami bisa fokus beribadah tanpa sibuk mencari nafkah.”
Tetapi Rasulullah saw menggeleng, lalu bersabda dengan tegas:
بَلْ أَنْتُمُ الْيَوْمَ خَيْرٌ مِنْكُمْ يَوْمَئِذٍ
“Tidak! Demi Allah, keadaan kalian hari ini lebih baik daripada keadaan kalian nanti.”
Rasulullah saw tahu, justru saat harta melimpah, iman manusia sering goyah. Sedangkan ketika lapar dan miskin, hati masih bersandar hanya kepada Allah.
Akhirnya tubuhnya roboh ke tanah, syahid di jalan Allah dengan panji Islam tetap tegak.
Ketika akhirnya hijrah dan perang demi perang dilalui, Muṣ‘ab tetap setia di barisan Rasulullah saw. Pada perang Uhud, ia diberi tugas mulia sebagai pembawa panji kaum Muslimin. Ia maju dengan penuh keberanian.
Namun musuh menyerangnya bertubi-tubi. Tangan kanannya ditebas hingga putus, ia pun memegang panji dengan tangan kiri. Lalu tangan kirinya pun ditebas, sehingga ia merangkul panji dengan sisa tubuhnya sambil berkata:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ
(QS. Āli ‘Imrān: 144)
“Muhammad hanyalah seorang Rasul. Telah berlalu sebelum beliau rasul-rasul. Maka jika beliau wafat atau terbunuh, apakah kalian akan berbalik ke belakang?”
Akhirnya tubuh Muṣ‘ab bin ‘Umair roboh ke tanah. Ia gugur sebagai syahid, dengan panji Islam tetap tegak di sisinya.
Ketika perang usai, para sahabat mencari kafan untuknya. Namun harta yang ia tinggalkan hanyalah selembar kain yang pendek: bila ditutupkan ke kepalanya, kakinya terbuka; bila ditutupkan ke kakinya, kepalanya terbuka. Rasulullah saw bersabda kepada para sahabat agar menutupi kepalanya dengan kain itu, dan kakinya ditutup dengan rumput.
Begitulah akhir hidup Muṣ‘ab bin ‘Umair ra Pemuda yang dulunya hidup penuh kemewahan, meninggal dengan meninggalkan dunia seluruhnya, hanya menyisakan iman dan pengorbanan.
Sahabatku, lihatlah Muṣ‘ab bin ‘Umair ra Rasulullah saw sendiri sampai menangis melihat pengorbanannya. Padahal kalau ia mau, ia bisa kembali ke ibunya, hidup bergelimang harta, menikmati dunia. Tapi ia memilih iman. Ia memilih Allah.
Bukankah kita hari ini justru sering kebalikannya? Kita rela meninggalkan shalat demi pekerjaan. Kita rela melanggar aturan Allah demi kesenangan dunia. Kita menangis kalau kehilangan harta, tapi jarang menangis karena kehilangan iman.
Muṣ‘ab bin ‘Umair ra adalah cermin bagi kita. Rasulullah saw menangis karena melihat betapa mahal harga iman. Pertanyaannya: berapa harga iman kita? Apakah kita siap menjual dunia untuk Allah seperti Muṣ‘ab?
Catatan Kaki
1. Ibnu al-Atsir, Asad al-Ghābah fī Ma‘rifat al-Ṣaḥābah, jilid 5, hlm. 182.
2. Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī, al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah, jilid 6, hlm. 109.
3. Al-Tirmiżī, Sunan al-Tirmiżī, Kitab al-Zuhd, bab tentang keutamaan hidup sederhana, hadis no. 2479. Disahihkan oleh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ al-Tirmiżī.
4. Aḥmad bin Ḥanbal, Musnad Aḥmad, Musnad ‘Alī bin Abī Ṭālib, hadis tentang Muṣ‘ab bin ‘Umair, no. 618.
5. Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitab al-Maghāzī, bab tentang Perang Uḥud, hadis tentang wafatnya Muṣ‘ab bin ‘Umair.
6. Al-Qur’an, Surah al-Aḥzāb ayat 23.
7. Al-Qur’an, Surah Āli ‘Imrān ayat 144.
(Ngopidiyyah)